Tolak Keras Permodalan China di PT Dairi Prima Mineral (DPM), Masyarakat Dairi Geruduk Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta
Masyarakat Dairi, Sumatera Utara, yang tergabung dalam Warga Dairi Melawan, menggeruduk kantor Kedutaan Besar Republik Rakyat China (RRC) atau Kedubes Tiongkok, di Jl Mega Kuningan No.2, Kuningan, Setia budi, Jakarta Selatan pada Selasa (11/6/2024).
Selain menggeruduk kantor Kedutaan Besar Republik Rakyat China (RRC) atau Kedubes Tiongkok, Masyarakat Dairi dalam Warga Dairi Melawan melanjutkan aksi unjuk rasa mereka ke kantor Mahkamah Agung (MA) di Jalan Medan Merdeka Utara No. 9-13 Jakarta Pusat.
Dalam rilis yang diterima redaksi pada Rabu (12/6/2024), Koordinator Aksi Warga Dairi Melawan, Mangatur Lumbantoruan, menyampaikan, Masyarakat Dairi memprotes keras Pendanaan Tiongkok untuk tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Sumatera Utara berisiko, dan meragukan secara hukum memicu kemarahan masyarakat setempat.
Mangatur Lumbantoruan menyebut, di tengah proses hukum yang berjalan, Pemerintah Tiongkok kembali mengambil keputusan yang mengancam kehidupan warga Dairi.
Pada April 2024, Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk memberikan pinjaman dana sebesar 245 juta dolar amerika serikat kepada PT Dairi Prima Mineral (DPM) sebagai dana operasional perusahaan untuk memulai eksploitasi seng dan timah hitam di Kabupaten Dairi.
“Hal ini membuat kami warga Dairi dan anak rantau Dairi yang berada di Jakarta melakukan aksi untuk mendesak Pemerintah Tiongkok melalui Kedutaan besar Tiongkok yang berada di Jakarta, agar menghentikan pinjamannya kepada PT Dairi Prima Mineral (DPM), karena warga Dairi tidak ingin dijadikan tumbal tambang,” tutur Mangatur Lumbantoruan.
Setelah dari Kedutaan Besar Tiongkok warga melanjutkan aksinya ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA).
“Meminta majelis hakim yang menangani proses kasasi membatalkan putusan banding KLHK di PTTUN,” katanya.
Sebagai informasi, proses gugatan warga Dairi atas terbitnya Persetujuan Lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sudah pada tahap kasasi di Mahkamah Agung dengan nomor register perkara No. 277 K/KTUN/LH/2024.
Jadi, kata dia, Pendanaan Tiongkok atas tambang Sumatera Utara yang berisiko dan meragukan secara hukum memicu kemarahan masyarakat lokal.
Mangatur Lumbantoruan merinci, tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang direncanakan di Sumatera Utara menimbulkan risiko berat bagi desa-desa dan lingkungan sekitar.
Masyarakat yang terancam mempertanyakan persetujuan lingkungan yang diberikan kepada tambang tersebut dan kasusnya sekarang ada di MA.
Meskipun ada kasus hukum yang tengah berlangsung dan risiko yang diketahui bisa ditimbulkan oleh tambang tersebut, sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok berencana memberi pinjaman senilai 245 juta dolar amerika ke DPM untuk menggerakkan proyek.
“Kami anggota masyarakat berdemo di kedutaan Tiongkok di Jakarta menanggapi pengumuman pendanaan tersebut. Kami menuntut otoritas Tiongkok menghentikan dukungan mereka terhadap proyek tersebut. Selain itu, kami juga ke MA untuk mendesak mahkamah agar mempercepat prosesnya,” jelasnya.
Masyarakat yang terancam oleh rencana tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Sumatera Utara berkumpul di depan Kedutaan Tiongkok dan MA di Jakarta, untuk mengekspresikan kemarahan karena pemerintah Indonesia, pengembang tambang, dan pemodal baru yang dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok tetap mendorong proyek agar berlanjut.
Meskipun banyak bukti yang menunjukkan tambang tersebut dapat menimbulkan risiko yang berat dan mematikan bagi desa-desa sekelilingnya.
Kelompok lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga pakar tambang internasional, menekankan bahwa situasi ini seperti test litmus bagi masa depan keselamatan tambang di Indonesia, dengan implikasi luas terhadap reputasinya sebagai pusat kegiatan tambang yang bertanggung jawab, termasuk juga terhadap mineral ‘transisi’ yang digunakan dalam teknologi energi hijau.
Demonstrasi di luar kedutaan Tiongkok merupakan tanggapan atas berita terbaru yang mengatakan bahwa sebuah perusahaan yang dikendalikan pemerintah Tiongkok telah mengumumkan akan memberikan dana ratusan juta dolar untuk membantu agar proyek bisa berlanjut.
Masyarakat Dairi menuntut pemerintah Tiongkok, sebagai pemegang saham dari investor terbesar dan pengembang proyek, beserta regulator perusahaan-perusahaan ini, agar segera menghentikan pembangunan dan pendanaan proyek PT Dairi Prima Mineral (DPM).
Pada 27 April 2024, China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC), yakni perusahaan induk PT Dairi Prima Mineral (DPM), mengungkapkan bahwa Carren Holdings Corporation Limited akan meminjamkan 245 juta dolar amerika kepada PT Dairi Prima Mineral (DPM) untuk pembangunan proyek seng dan timbal di dekat Parongil, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Carren Holdings Corporation Limited terdaftar di Hong Kong dan sepenuhnya dimiliki oleh CNIC Corporation Limited, juga terdaftar di Hong Kong. CNIC Corporation dikuasai oleh China’s State Administration of Foreign Exchange (SAFE).
Pinjaman tersebut muncul setelah pakar keselamatan tambang internasional mengonfirmasi bahwa proyek PT Dairi Prima Mineral (DPM) menimbulkan risiko berat bagi masyarakat dan lingkungan. Termasuk juga karena risikonya yang sangat tinggi ini bendungan tailing yang direncanakan ini akan runtuh.
Jika ini terjadi, banjir yang membawa jutaan ton limbah tambang yang beracun pasti akan merenggut nyawa banyak penduduk desa yang tinggal di hilir.
Proyek ini sebagaimana sudah dirancang tidak akan mendapatkan izin jika dibangun di Tiongkok karena tidak memenuhi standar keselamatan di Tiongkok, dengan jarak bendungan tailing kurang dari 1000 meter ke hulu dari banyak perumahan penduduk.
Pada Agustus 2022, meskipun mengetahui bahayanya tambang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) memberikan proyek ini Persetujuan Lingkungan.
Masyarakat mempertanyakan hal ini di PTUN Jakarta. Pengadilan berpihak kepada pengaduan masyarakat dan memutuskan agar Persetujuan Lingkungan tersebut dibatalkan.
Pengadilan mengakui bahwa area tambang DPM rawan bencana dan karenanya tidak cocok untuk tambang. PT Dairi Prima Mineral (DPM) dan Kementerian mengajukan banding ke PT TUN.
Keputusan banding dimenangkan oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM) dan Kementerian. Masyarakat pengadu telah meminta peninjauan oleh MA, yang saat ini tengah berjalan.
Rainim Purba, pihak pengadu dalam kasus menentang Persetujuan Lingkungan. Warga dari Desa Pandiangan itu menolak adanya proses eksplorasi dan eksploitasi di wilayah mereka.
“Kami heran bahwa sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok akan setuju mendanai proyek yang membawa bencana, sementara kasus hukumnya masih berjalan. Mungkin selama ini mereka tidak pernah diberi tahu mengenai risiko-risikonya,” tutur Rainim Purba.
“Saya mengutuk pendanaan tambang DPM. Saya mengutuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena memberikan Persetujuan Lingkungan DPM. Seolah kedua pemerintah, Indonesia dan Tiongkok, tidak peduli dengan rakyat ataupun lingkungan,” lanjut Rainim Purba.
“Jika mereka tetap dengan rencana mereka yang membahayakan itu, kita akan terus melawan. Tidak ada pilihan. Hidup kami, mata pencaharian kami, dan budaya adat kami terancam bahaya. Kami ingin para pemodal berhenti mendanai tambang yang berbahaya ini,” ujarnya.
Dalam aksi di depan MA Jakarta, perwakilan masyarakat mendesak mahkamah/pengadilan agar mempercepat proses kasasi menentang penerbitan persetujuan lingkungan oleh pemerintah Indonesia untuk DPM.
Warga menyerukan bahwa mereka ingin mahkamah/pengadilan memberikan pesan yang jelas bahwa persetujuan tersebut merupakan kesalahan dan dibatalkan.
“Adalah konyol kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan persetujuan lingkungan kepada PT Dairi Prima Mineral (DPM). Mandat kementerian adalah untuk melindungi rakyat dan lingkungan. Sebaliknya, mereka justru mendukung tambang yang berbahaya yang berpeluang membunuh kami dan meracuni lingkungan. Kami butuh MA untuk mengakhiri ini, dan melakukannya segera,” ujar Rainim Purba.
Kemudian, Mangatur Lumbantoruan, warga masyarakat yang tinggal di Desa Sumbari, menyebut, kehadiran PT Dairi Prima Mineral (DPM) di wilayah mereka sudah mengancam nyawa dan penghidupan masyarakat.
“Dunia tahu apa yang bisa terjadi pada bendungan tailing di atas tanah yang tidak stabil. Ia bisa merenggut nyawa manusia. Menghancurkan lingkungan,” ujarnya.
“Seluruh permukaan tanah di area itu tidak stabil. Mengapa lembaga negara Tiongkok ini mendanai sesuatu yang akan membunuh kita? Yang bahkan tak akan diizinkan di Tiongkok sendiri,” ujar Mangatur Lumbantoruan.
Mangatur Lumbantoruan menyebut, belum terlambat bagi pemerintah Tiongkok untuk menarik kembali dukungan mereka dari PT Dairi Prima Mineral (DPM).
“Belum terlambat. Pemodal dari Tiongkok ini mungkin hanya kurang diberi informasi. Jika memang demikian, mereka seharusnya menarik dukungan mereka,” ujarnya.
Sedangkan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membantu komunitas untuk masalah hukum berpendapat, seharusnya PT Dairi Prima Mineral (DPM) belajar dari sejarah terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan perusahaan tambang.
Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Tongam Panggabean, menyebut, bukan hanya kerugian materiil, tetapi masyarakat juga kehilangan nyawa akibat adanya kebocoran tailing.
“Kebocoran bendungan tailing di Brasil pada tahun 2015 telah mengakibatkan BHP, perusahaan penambangan terbesar dunia, menawarkan kompensasi sebesar 25,7 miliar dolar karena runtuhnya bendungan tailing,” ungkap Tongam Panggabean.
“Runtuhnya bendungan tailing di Brasil mengakibatkan hilangnya 272 jiwa, hancurnya desa-desa, dan teracuninya sistem sungai. Para pakar sudah mengatakan kepada kami bahwa bendungan yang diusulkan PT Dairi Prima Mineral (DPM), dapat mengakibatkan kerusakan yang sama. Jujur, saya terkejut lembaga pemerintah Tiongkok bisa ada di balik proyek DPM, terlebih dengan risiko-risiko ini. Sungguh tidak ada manfaatnya,” jelas Tongam Panggabean.
Menurut Tongam Panggabean, dunia tengah mencari mineral dan logam dalam rangka transisi energi global. Namun selalu dengan cara-cara buruk dan menghancurkan lingkungan maupun masyarakat.
“Orang mengatakan menginginkan transisi energi yang ‘bersih’. Pemerintah Indonesia mengatakan negara kita akan menjadi pusat dunia (penambangan) mineral untuk transisi energi yang diambil secara bertanggung jawab. Ini tidak akan terjadi jika perusahaan seperti DPM terus mendapatkan persetujuan, dan pengadilan tidak melakukan apa pun,” ujarnya.
“Kasus DPM adalah penguji akan signifikansinya kasus ini pada skala internasional. Jika sebuah tambang jelas akan mengakibatkan bencana jika diizinkan untuk dilanjutkan, maka tidak ada gunanya klaim bahwa Indonesia dapat membantu dunia dalam transisi energi bersih,” lanjut Tongam Panggabean.
“Kita perlu MA mendukung PTUN Jakarta yang menemukan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan gagal menjalankan tanggung jawab mereka menerapkan tata kelola yang baik,” tandasnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Muhammad Jamil, mengatakan, sebagai lembaga advokasi dan jaringan masyarakat yang terdampak penambangan di seluruh Indonesia, JATAM melihat dampak sangat buruk kehadiran PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Dairi.
“Ada ribuan orang di Dairi dan Aceh yang dapat terkena dampak negatif dari tambang DPM ini. Pembiayaan dan persetujuan yang diberikan kepada tambang yang terkait dengan bencana terjadi di seluruh Indonesia. Masyarakat tidak seharusnya menjadi korban dari keputusan finansial yang dilakukan secara gegabah,” ujar Muhammad Jamil.
Dr Steve Emerman, yang merupakan konsultan lingkungan untuk tambang dengan pengalaman 40 tahun, dan yang telah meninjau rencana PT Dairi Prima Mineral (DPM), sepakat agar PT DPM ditutup dan tak perlu diizinkan beroperasi di Dairi.
“Kasus DPM harus dilihat seperti pepatah ‘kenari di tambang batu bara’. Prediksi akan terjadinya malapetaka. Di seluruh dunia kita melihat bencana tambang terjadi, khususnya ketika berhadapan dengan tata kelola yang buruk. Dalam hal ini, penting agar pengadilan berperan memastikan pemerintah melindungi rakyat dan lingkungan,” ungkap Dr Steve Emerman.
“Sebelumnya telah saya sampaikan, tambang DPM yang diusulkan adalah kasus paling parah yang pernah saya temui. Gamblangnya ketidakpedulian mereka akan nyawa manusia dan lingkungan sangat mengejutkan. Jika DPM diperbolehkan untuk melanjutkan, semua perusahaan manufaktur yang mencari mineral untuk transisi energi bersih akan angkat kaki dari Indonesia,” kata Emerman.
“Jika persetujuan lingkungan DPM tidak ditarik, maka akan menunjukkan di mata dunia bahwa Indonesia tidak memiliki mekanisme yang dibutuhkan untuk memastikan adanya perlindungan lingkungan dan HAM terkait penambangan,” tandas Dr Steve Emerman.(RED)
Narahubung:
- Perwakilan masyarakat dapat dihubungi melalui Monica Siregar Telp: +62 0823 6216 2928; alamat surel: monicasiregar53@gmail.com.
- Tongam Panggabean. Direktur BAKUMSU. Telp: +62 82168865578: alamat surel: tongam.bakumsu@gmail.com
- Muhammad Jamil. Koordinator Nasional jaringan masyarakat tambang, JATAM.Telp: +62 821-5647-0477; e-mail: adv.muhjamil@gmail
- Dr. Steven Emerman, ahli hidrologi tambang dan pemilik Malach Consulting, Telp: 1-801-921-1228, Surel: SHEmerman@gmail.com.
- Mangatur Lumbantoruan (+6281276375400)
The post Tolak Keras Permodalan China di PT Dairi Prima Mineral (DPM), Masyarakat Dairi Geruduk Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta appeared first on SINAR KEADILAN | BERANI TAJAM TERPERCAYA.