Minim Partisipasi Publik dan Malah Terjadi Kemunduran Agenda Reformasi 1998, DPR Diminta Hentikan Dulu Pembahasan RUU TNI dan RUU POLRI
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diminta untuk menghentikan dulu pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri), dikarenakan sangat berpotensi tidak terlibatnya masyarakat atau minim partisipasi publik dalam pembahasan kedua Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.
Selain itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) di DPR tercium akan memundurkan Agenda Reformasi 1998.
Hal itu ditegaskan Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, lewat siaran persnya yang diterima redaksi, Sabtu (13/7/2024).
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menuturkan, pada Senin, 8 Juli 2024, DPR RI memberikan pernyataan bahwa sudah menerima empat (4) Surat Presiden (Surpres), di mana dua diantaranya adalah Surpres tentang RUU TNI dan RUU Polri.
Meskipun Daftar Inventaris Masalah atau DIM belum diterima dari pihak pemerintah, pimpinan DPR memastikan RUU TNI dan RUU Polri akan dibahas pada sisa masa jabatan sebelum Oktober 2024 nanti, tepatnya pada masa sidang selanjutnya yakni di bulan Agustus 2024.
“Kami memandang, pengajuan Surpres RUU TNI dan RUU Polri menunjukan bahwa pemerintah dan DPR mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil untuk tidak melanjutkan pembahasan kedua RUU tersebut,” tutur Gufron Mabruri.
Menurut Gufron, langkah tersebut dinilai sebagai bentuk pemaksaan yang berpotensi berdampak terhadap diabaikannya partisipasi publik mengingat masa bakti DPR Periode 2019/2024 tidak lama lagi akan berakhir.
“Ditambah lagi, substansi usulan perubahan dalam kedua RUU tersebut memiliki sejumlah persoalan yang serius yang dikhawatirkan akan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri,” lanjutnya.
Penting dicatat, kata dia, pembahasan RUU TNI dan RUU Polri berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
Karena itu, menjadi penting bagi DPR RI untuk benar-benar mempertimbangkan kritik, saran dan masukan dari masyarakat sipil mengingat mereka yang akan terdampak langsung oleh penerapan kedua Undang-Undang tersebut.
“Kami juga sangat khawatir di tengah waktu yang singkat tersebut, pembahasan RUU TNI dan RUU Polri cenderung transaksional sehingga mengabaikan partisipasi dari kalangan masyarakat sipil,” ujar Gufron.
“Kami menilai, sedari awal rencana revisi Undang-Undang Polri dan UU TNI telah mengabaikan asas keterbukaan yang diharuskan oleh Undang-Undang. Tidak ada keterbukaan kepada masyarakat sebagai pihak yang terdampak dari kedua RUU tersebut, dan baru diketahui setelah DPR mengesahkan kedua RUU tersebut sebagai usul inisiatif DPR,” jelasnya.
Gufron menekankan, pelibatan partisipasi publik merupakan aspek penting dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Pada pasal 5 huruf g UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan ada tujuh asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan Undang-Undang, salah satunya adalah Asas Keterbukaan.
Pada bagian penjelasan, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangannya (termasuk pemantauan dan peninjauannya), memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).
“Ditambah lagi, mengingat DPR RI periode 2019/2024 akan segera berakhir, pembahasan keduanya berpotensi mengabaikan partisipasi publik dan berdampak pada lahirnya aturan perundang-undangan yang anti-kritik dan represif,” terangnya.
Lebih jauh, Imparsial juga menilai secara substansi RUU TNI dan RUU Polri memiliki usulan perubahan yang bermasalah.
“Alih-alih mendorong perbaikan dan menjadikan TNI dan Polri lebih profesional, sejumlah usulan perubahan yang ada akan membuat kedua institusi tersebut semakin menjauh dari kepentingan dan mandat reformasi, jika diakomodir oleh DPR,” katanya.
Karena itu, penting bagi Pemerintah dan DPR untuk benar-bener mencermati kritik, saran dan masukan dari berbagai kelompok masyarakat sipil.
“Jangan sampai DPR menghasilkan produk legislasi yang merusak prinsip negara hukum, mengancam demokrasi dan hak asasi manusia,” jelas Gufron.
Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU TNI dan RUU Polri di sisa masa periode yang tidak banyak.
“Di tengah masa baktinya yang akan berakhir, sebaiknya DPR dan pemerintah memfokuskan pada upaya evaluasi dan perbaikan terhadap berbagai praktik penyimpangan dalam pelaksana tugas TNI/Polri dan mendorong agenda reformasi yang tertunda,” tandasnya.(RED)
Narahubung:
- Gufron Mabruri – Direktur (085213108662)
- Ardi Manto – Wakil Direktur (081261944069)
- Annisa Yudha – Koor. HAM (085711784064)
- Hussein Ahmad – Koor. SSR (081259668926)
The post Minim Partisipasi Publik dan Malah Terjadi Kemunduran Agenda Reformasi 1998, DPR Diminta Hentikan Dulu Pembahasan RUU TNI dan RUU POLRI appeared first on SINAR KEADILAN | BERANI TAJAM TERPERCAYA.