Politik

Seruan PARKINDO Atas Konflik Agraria di Pulau Rempang

“Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka.” (Amsal 31: 8–9)

Tujuan Negara adalah menjamin terwujudnya kebaikan bersama bagi warganya, yaitu rakyat. Kira-kira begitulah Jean Jacques Rousseau mendefinisikan peran Negara yang dia tuliskan dalam bukunya, Kontrak Sosial.

Rakyat adalah sumber kedaulatan Negara. Tanpa rakyat, Negara akan kehilangan signifikansinya. Dengan kata lain, kehendak umum rakyat menjadi episentrum dari mekanisme kekuasaan Negara.

Memahami Konflik di Pulau Rempang

Akan tetapi, realitas sosial kita akhir-akhir ini justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Negara, melalui Pemerintah, justru menempatkan investor sebagai tuan.

Kepentingan pemodal menjadi prioritas dibandingkan kehendak rakyat. Bentrokan antara warga dengan aparat keamanan karena konflik agraria di Pulau Rempang menjadi bukti bahwa Negara adalah panitia kapitalisme.

Alih-alih menyejahterakan rakyat, Negara justru memilih untuk menyenangkan hati mereka yang punya uang.

Pada 7 September 2023, warga Rempang, Kota Batam, bentrok dengan polisi, tentara, dan satuan pamong praja. Pemicunya adalah warga menolak relokasi.

Pasalnya, Pemerintah akan membangun salah satu proyek strategis nasional di atas Pulau Rempang, yaitu Rempang Eco-City—perpaduan antara kawasan industri, perdagangan, dan wisata.

Demi rencana itu, masyarakat harus segera mengosongkan lahan agar proyek dapat dikerjakan. Dengan kata lain, mereka harus angkat kaki dari tanah yang di atasnya rumah mereka telah berdiri selama puluhan, bahkan ratusan tahun.

Konflik agraria yang terjadi di Rempang memang agak unik. Persoalannya bermula dari era Presiden Soeharto. Presiden ke-2 RI itu mengeluarkan Keppres No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

Pemerintah menilai Kepulauan Batam merupakan lokasi strategis. Keppres tersebut bertujuan untuk mencegah para spekulan tanah sehingga tanah-tanah potensial tidak dimiliki oleh investor swasta.

Keppres tersebut melarang setiap investor memiliki tanah di sana. Jika para investor membutuhkan tanah, mereka hanya boleh menyewa tanah ke Otorita Batam (Kompas, 14/9/2023).

Pada 1992, Soeharto kembali menerbitkan Keppres No. 28. Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masuk wilayah Daerah Industri Pulau Batam (Koran Tempo, 11/9/2023).

Wilayah baru ini kemudian menyandang status quo karena Otorita Batam belum bisa mengalokasikan peruntukkannya.

Lalu pada 2002, Pemkot Batam mengeluarkan surat edaran berisi larangan kepada Camat dan Lurah melayani pengurusan sertifikat hak atas tanah perseorangan maupun berbadan hukum. Artinya, warga Pulau Rempang belum memiliki kekuatan hukum atas tanah yang mereka tinggali.

Ini pulalah alasannya Mankpolhukam, Mahfud MD mengatakan, “Supaya dipahami oleh masyarakat bahwa kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya.”

Namun, persoalannya bukan terletak pada diksi “pengosongan”, “penggusuran”, atau logika hukum ketatanegaraan. Problem terbesar adalah negara lalai memperhatikan rakyatnya.

Peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM, Annisa Azzahra, mengatakan Pulau Rempang bukan tanah kosong. Masyarakat sudah bermukim di sana sejak 1843 (Koran Tempo, 11/9/2023).

Artinya, manusia sudah menghuni pulau tersebut selama 102 tahun sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya.

Pertanyaannya, mengapa Negara belum menjamin hak kepemilikan mereka atas tanah? Alih-alih mempermudah sertifikasi kepemilikan tanah, mengapa masyarakat Pulau Rempang malah tidak diizinkan untuk mengurus sertifikasi kepemilikan tanah?

Mengapa predikat status quo Kepulauan Batam tidak dicabut segera? Mengapa rezim setelah Soeharto tidak membatalkan Keppres No. 41 Tahun 1973 dan No. 28 Tahun 1992? Jawabannya sederhana, karena Negara tidak berpihak kepada orang miskin dan rakyat kecil.

Seruan Partisipasi Kristen Indonesia

Apakah kekristenan bersetuju dengan sikap abai Negara terhadap rakyat kecil? Amsal 31 adalah pasal terakhir dalam Kitab Amsal.

Pasal ini berisi nasihat seorang ibu kepada anaknya yang bernama Lemuel, Raja Masa. Identitas Lemuel memang tidak begitu jelas. Namun, para ahli Alkitab berspekulasi bahwa Lemuel merujuk kepada Salomo.

Pasal ini menjadi unik karena sumber nasihat datang dari perkataan seorang ibu atau perempuan (ay. 1). Mengingat perempuan adalah masyarakat kelas dua ketika itu, perhatian terhadap nasihat Ibu menjadi suatu keheranan kecuali ajaran itu benar-benar penting.

Amsal 31 berisi tentang nasihat mengenai sikap seorang penguasa. Dalam ranah kehidupan publik, seorang penguasa bertugas untuk memastikan hak orang-orang yang merana, miskin, dan tertindas diberikan secara adil (ay. 8–9).

Artinya, kekuasaan tidak pernah netral. Sebuah otoritas harus condong atau berpihak kepada mereka yang bisu. Apakah ayat ini sedang berbicara tentang kebisuan sebagai tunawicara? Tentu saja tidak! Mereka yang bisu adalah orang-orang yang dibungkam. Mereka merana karena hak-haknya dirampas.

Seorang penguasa hadir justru untuk membela kaum lemah ini, bukan malah bersekongkol dengan para pembungkam dan perampas hak mereka.

Kekuasaan seorang raja atau sebuah lembaga pemerintahan datang dari Tuhan menurut Alkitab (Rm. 13: 1).

Tuhan memberikan kekuasaan agar kuasa tersebut digunakan sebagai instrumen untuk mengutamakan kepentingan kelas masyarakat terlemah. Keadilan menjadi sentrum dalam kekristenan karena Alkitab menganalogikan Tuhan sebagai keadilan itu sendiri (Mzm. 97:2).

Keadilan layak disebut sebagai keadilan jika hak setiap orang terpenuhi. Tugas seorang pemimpin atau lembaga pemerintahan adalah memastikan kondisi ini terwujud.

Sebaliknya, otoritas yang tidak memperjuangkan keadilan adalah pengkhianatan dan pembangkangan terhadap kekuasaan Tuhan. Selain persoalan represi aparat keamanan, problem terbesar di Pulau Rempang adalah pengabaian.

Negara abai memperhatikan hak warga Negara di sana. Negara mengabaikan hak atas kehidupan, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, pasal 3.

Hak atas tanah merupakan prasyarat agar setiap individu dapat hidup. Tanah merupakan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan di atasnya budaya serta tradisi dilestarikan.

Ketika Negara menolak untuk mengakui hak tersebut dengan tidak mengeluarkan sertifikat hak kepemilikan tanah, Negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Pengabaian Negara ini bertentangan dengan ajaran kekristenan. Amsal 31: 8–9 mengatakan penguasa justru seharusnya memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat, khususnya mereka yang merana, miskin, dan tertindas.

Alih-alih menggunakan kekuasaan dari Tuhan untuk mewakili kepentingan kaum marginal, Negara malah menggunakan kuasa tersebut untuk bersekongkol dengan investor demi membungkam dan merampas hak warga Pulau Rempang.

Oleh karena itulah, Negara wajib mempermudah warga untuk melegalisasi hak mereka atas tanah, bukan malah melancar-lancarkan izin investasi.

Problem kedua adalah rendahnya keberpihakan Negara kepada rakyat. Negara atau rezim akhir-akhir ini sepertinya tidak pernah berpihak kepada rakyat. Mereka menutup kuping pada jeritan rakyat, namun membuka lebar telinganya pada bisikan investor.

Konflik di Papua, Kendeng, Desa Wadas, dan Pulau Rempang membuktikan betapa tuli negara pada keluhan rakyat. Proyek strategis nasional tak ubahnya seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun ala Soeharto.

Urusan birokrasi kepada pemodal dapat diselesaikan secara kilat, namun permohonan rakyat disambut oleh water canon dan pentungan aparat.

Keberpihakan Negara kepada konglomerat juga bertentangan dengan kekristenan. Tuhan memberikan kekuasaan pada lembaga pemerintahan justru agar menjadi perpanjangan tangan-Nya menolong kelas masyarakat tertindas.

Kekuasaan tersebut menempatkan Pemerintah sebagai perwakilan sehingga hak rakyat terpenuhi. Ketika Negara memilih berpihak kepada para pengusaha, mereka akhirnya menciptakan kebijakan yang merugikan rakyat kecil.

Keberadaan hukum, produk undang-undang, dan berbagai peraturan Pemerintah bertujuan untuk melayani kepentingan bisnis. Karena berorientasi pada akumulasi kapital, eksploitasi (alam dan manusia) menjadi keniscayaan.

Dalam kasus Rempang, akumulasi primitif, yaitu perampasan tanah, justru diinisiatifkan oleh Negara melalui perangkat aparatusnya.

Berdasarkan analisis dan refleksi teologis di atas, Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) menyerukan beberapa hal.

Pertama, hentikan represi terhadap warga Pulau Rempang dengan menarik aparat keamanan dari wilayah konflik.

Kedua, tunda proses relokasi warga. Mengutip pendapat Amartya Sen dalam Developmentalism as Freedom, jika pembangunan harus berkonflik dengan masyarakat lokal, biarkan mereka yang menentukan keputusan.

Ketiga, Negara harus menyatakan keberpihakan kepada warga Rempang. Negara harus menghapus segala kebijakan yang merugikan rakyat. Peraturan yang mempersulit mereka dalam mengurus sertifikasi kepemilikan tanah harus dihilangkan.

Keempat, Negara harus mendahulukan kepentingan rakyat daripada investor. Pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya indikator kemajuan. Kebebasan dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat justru menjadi faktor terpenting.

Kepemilikan atas tanah menjadi prasyarat agar seseorang dapat bertahan hidup. Negara harus mengutamakan aspek ini daripada indeks statistik mengenai laju percepatan ekonomi.

Tuhan dan konstitusi kita memberi mandat pada Negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.

Rakyat menjadi klien utama dari Negara, bukan investor. Ketika rezim justru mengistimewakan kepentingan pemodal dengan merampas hak-hak rakyat, selain telah mengkhianati kepercayaan Tuhan, Negara telah membangkang pada konstitusi.

Jika Tuhan dan konstitusi sudah dikangkangi, seperti kasus di Pulau Rempang, lantas apakah masih layak pemerintahan sekarang disebut berdaulat?

 

Ketua Umum DPP Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo)

Lukman Doloksaribu

 

Sekjen DPP Parkindo

Besli Pangaribuan

The post Seruan PARKINDO Atas Konflik Agraria di Pulau Rempang appeared first on SINAR KEADILAN | BERANI TAJAM TERPERCAYA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *