Putusan PTUN Jakarta Dinilai Cacat dan Keliru, Masyarakat Adat Ajukan Banding
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan 8 anggota Komunitas Masyarakat menolak dan keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor: 542/G/TF/2023/PTUN. Jkt, Tanggal 16 Mei 2024.
Perkara ini adalah Gugatan Tentang Sikap Diam/Abai DPR RI dan Presiden RI Atas Permohonan AMAN dkk terhadap Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat.
Majelis Hakim yang memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara ini adalah Dr. Novy Dewi Cahyati, S.SI., S.H M.H. (Hakim Ketua), Ridwan Akhir, S.H., M.H., dan Fajri Citra Resmana, S.H., M.H. (Hakim Anggota).
Penolakan dan keberatan AMAN dkk atas putusan PTUN Jakarta tersebut ditempuh dengan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta pada tanggal 28 Mei 2024.
Selanjutnya pada tanggal 3 Juni 2024 AMAN dkk melalui kuasa Hukumnya yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Hukum Adat (PPMAN) telah mengajukan memori Banding terhadap putusan PTUN Jakarta Nomor: 542/G/TF/2023/PTUN. Jkt, Tanggal 16 Mei 2024 tersebut.
Fatiatulo Lazira, Kuasa Hukum AMAN dkk (Para Penggugat) menyatakan upaya hukum Banding yang dilakukan AMAN dkk, karena Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut keliru dalam putusannya menyatakan Gugatan Para Penggugat tidak diterima, yang sering disebut dengan Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O).
Kesalahan dan Kekeliruan Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam hal ini adalah karena dalam pertimbangannya hukumnya Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan Objek Gugatan adalah pengaturan yang bersifat umum (regelling) sehingga dikecualikan dari Objek Sengketa Tata Usaha Negara.
Seolah-olah yang menjadi Objek Gugatan dalam perkara ini adalah produk hukum yang merupakan pengaturan yang bersifat umum atau regeling.
“Padahal sangat terang dan jelas, bahwa Objek Gugatan dalam perkara ini adalah sikap abai atau diam DPR RI dan Presiden RI atas Permohonan Pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat yang diajukan AMAN dkk,” ujar Fatiatulo Lazira, yang juga koordinator PPMAN Region Jawa, dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Kamis (6/6/2024).
Pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat merupakan perintah konstitusi berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagaimana pula ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 16 Mei 2013.
Yang pada pokoknya menyatakan bahwa UUD 1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat supaya diatur dalam Undang-Undang.
“Akibat ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Adat selama 20 tahun ini, Masyarakat Adat terus mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan Wilayah Adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Masyarakat Adat di Indonesia,” kata Fati, panggilan akrab Fatiatulo Lazira.
Sementara itu, Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN yang juga Kuasa Hukum Para Penggugat menilai sikap diam atau abai pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan melakukan perbuatan konkret by omission.
Karenanya sikap abai atau diam oleh DPR dan Presiden terhadap AMAN, dkk untuk membentuk UU Masyarakat Adat adalah tindakan administrasi pemerintahan.
“Surat permohonan terkait kejelasan dan proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak direspon oleh DPR RI dan Presiden. Fungsi pelayanan Pemerintah sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tidak dijalankan. Sikap abai tersebut kami pertanyakan melalui pengadilan. Sebagai kekuasaan yang merdeka, PTUN penting menegakkan hukum dan keadilan substantif khususnya bagi Masyarakat Adat di Indonesia,” tutur Syamsul Alam Agus.
Syamsul Alam Agus meneruskan bahwa hakikat dari putusan pengadilan merupakan mahkota hakim, karenanya untuk menghindari kecacatan atau kekeliruan, putusan seharusnya memuat pertimbangan yang jelas dan cukup.
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement).
Syamsul Alam Agus lebih lanjut menyatakan kecewa atas Putusan PTUN Jakarta tersebut karena Majelis Hakim PTUN Jakarta gagal memahami maksud dan esensi dari Gugatan AMAN, dkk, yaitu bahwa sikap diam atau abai DPR RI dan Presiden RI atas surat permohonan Pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat yang diajukan AMAN dkk, bertentangan dengan kewajiban konstitusional DPR RI dan Presiden untuk membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat sebagaimana perintah pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang diatribusikan pasal Pasal 5 ayat (1) junto Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945.
“Jelas-jelas hal ini merupakan perbuatan melanggar/melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Onrechtmatige Overheidsdaad,” katanya.
Ditambahkan oleh kuasa hukum lainnya, Judianto Simanjuntak, bahwa Putusan PTUN Jakarta Nomor: 542/G/TF/2023/PTUN.JKT, Tanggal 16 Mei 2024 menunjukkan pengadilan gagal sebagai sarana kontrol bagi penyelenggara negara.
“Artinya dalam hal ini PTUN Jakarta mengabaikan posisinya yang strategis mendorong lahirnya proses legislasi untuk melindungi dan menegakkan (justiciability) hak-hak Masyarakat Adat,” ujar Judianto Simanjuntak.
Padahal faktanya pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat merupakan kebutuhan mendesak di tengah maraknya pembangunan yang berdampak pada perampasan wilayah adat, penggusuran, kriminalisasi dan ancaman penghilangan identitas budaya Masyarakat Adat.
Seperti kriminalisasi yang dialami oleh Sorbatua Siallagan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
“Sorbatua Siallagan dikriminalisasi karena menjaga, mengelola, dan menduduki wilayah adat warisan dari Ompu Umbak Siallagan. Saat ini Sorbatua Siallagan disidangkan dan diadili di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara,” lanjutnya.
“Jika pengadilan tidak lagi menjadi ruang bagi pencari keadilan, lalu kemana mereka mencarinya? Putusan atau vonis Hakim tidak boleh dipisahkan dari pertimbangan yang jelas dan cukup,” ucap Judianto Simanjuntak.(RED)
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Syamsul Alam Agus, S.H (Ketua Badan Pengurus PPMAN) – 08118889083
Fatiatulo Lazira, S.H – 08121387776
The post Putusan PTUN Jakarta Dinilai Cacat dan Keliru, Masyarakat Adat Ajukan Banding appeared first on SINAR KEADILAN | BERANI TAJAM TERPERCAYA.